Abdurrahman Al-Ghafiqi
“MENGENAL
SOSOK ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI (PANGLIMA PERANG DI BALATH SYUHADA)”

“Banyaknya pasukan
tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Romawi, Persia,
Qibti, Tartar,…semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima
yang agung. Kekuatannya tangguh, semangatnya bergelora seperti api dan rasa
persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeda-bedakan sesama manusia.
Dalam jiwa pemimpin
dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan
kekuatannya yang tak terkalahkan, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemukan
kesulitan. Optimis bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka
terus maju dan maju hingga dunia Barat takluk pada dunia Timur, tertunduk
menghormati nama Muhammad saw.
Orang-orang dari kutub
yang penuh dengan pegunungan es yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk
melaksanakan haji. Melintasi sahara dengan kaki talanjang dengan penuh iman,
berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas terjalnya
bebatuan di Makkah.”
Memang, apa yang Anda
katakan tidak jauh dari kenyataan. Khayalannya pun tidak meleset. Prajurit yang
dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang Anda
dari kegelapan jahiliyah, seperti yang Anda sebutkan.
Ikut serta dalam
pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah telah membangkitkan
mereka dan membimbing mereka untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd,
Yaman dan pelosok-pelosok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana
badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan
keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga
orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme
kaisar-kaisarnya dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak
ketinggalan pula orang-orang Romawi, pembelot menurutmu, memang mereka membelot
dari kezhaliman dan kegelapan menuju cahaya terangnya langit dan bumi dan
menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemudian orang-orang Qibti, yang
bebas dari perbudakan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada
kehidupan yang bebas merderka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat
dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang
pasukan pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi maupun para penghulunnya datang untuk
melepaskan nenek moyang kalian dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada
yang berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non-Arab). Tapi mereka bersatu
dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka seperti
yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropa ke dalam agama
Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bagian Timur dan Afrika. Sehingga
umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah, pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam
akan menyinari dataran dan lembah kalian, mataharinya memancar di setiap rumah
kalian dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa kalian. Mereka bertekad
mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing kalian ke jalan Allah
dan menyelamatkan kalian dari api neraka.
Sekarang marilah kita
ikuti akhir perjalanan pasukan Islam dan panglimanya yang agung, Abdurrahman
Al-Ghafiqi.
Kabar tewasnya Utsman
bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania.
Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam,
Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania
segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya.
Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi
tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut
kepalanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling
kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.
Dugaan Duke Octania
tepat, tiba-tiba Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang
luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan
turun ke wilayah Prancis selatan dari pegunungan Pyerenees laksana air bah.
Prajuritnya mencapai 100 ribu orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh
prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk
melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah
karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui
kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata, setelah gubernur As-Samah bin Malik
Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar
perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman
Al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang
disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam.
Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelakkan lagi.
Pasukan pertama yang
dikerahkan Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih
mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil
menggoyahkan dan memporak-porankan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke
dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam
mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.
Namun sayang, Duke
Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya.
Sehingga dia masih menyimpang potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran
selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu
perang yang panjang.
Bersama pasukannya,
Abdurrahman Al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan
mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui
pasukan kavelerinya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin. Ghanimah
makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha
membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu
pertempuran besar. Namun kali ini pun pasukan Islam mampu mengatasinya. Mereka
menghajar dan meluluh lantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos
meninggalkan pasukannya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang
tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan
berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus
merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya
dengan peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi
dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh
pasukan Islam seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana
teman-teman yang telah mandahului mereka.
Banyak sekali harta
ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah
jatuhnya Bordoeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting di Prancis
lainnya, seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu
tinggal seratus mil saja dari Prancis.
Dunia Eropa tersentak
mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi
dalam waktu beberapa bulan saja. Maka dunia Barat terbuka akan bahaya besar
yang menghadang mereka.
Anjuran partisipasi
menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan
partisipasinya untuk membendung arus timur yang deras itu. Bila tak mampu
membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata
habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut
seruan itu. Orang-orang berdatangan dari dari segala penjuru dengan
membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri dan pedang. Mereka
bersatu padu di bawah komanda Karel Martel.
Dalam waktu yang
bersamaan, pasukan muslim telah tiba di Tours, kota Prancis padat penduduknya
dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan
gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan
yang tak ternilai harganya. Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang
kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota
ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban
104 H Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukannya yang gagah perkasa memasuki
kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel
Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam
sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia.
Pertempuran itu dikenal dengan nama Balath syuhada, karena banyaknya prajurit
Islam yang syahid.
Ketika pasukan Islam
benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang,
punggung-punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah
ruah. Abdurrahman Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan sedih dan khawatir. Beliau
mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan
pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta benda itu? Di saat-saat
menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah
lagi melirik harta-harta ghanimah.
Ingin sekali
Abdurrahman Al-Ghafiqi menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari
ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi mereka sangsi apakah mereka bisa
menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali
beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang
difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkorbar.
Dua pasukan yang sama
besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam
dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan
lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu
berlalu, Abdurrahman Al-Ghafiqi melihat semangat pasukannya mulai menyala.
Sepertinya kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka
beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman Al-Ghafiqi
mulai menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang
dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran
berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah
satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak
akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua,
pertempuran kembali berkobar. Pasukan Islam menyerang dengan gagah berani dan
tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.
Perang berlangsung
hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit
demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang.
Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama,
sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah dan
menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai
goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta
ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.
Dengan gigih panglima
besar Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke
belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi
celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana kemari dengan kudanya yang
perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh
dari kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung
Komentar
Posting Komentar